Patah Hati
Dia patah. Bukan karena anak laki-laki bodoh yang mempermainkannya untuk tubuhnya dan mematahkan hatinya saat tidak cukup baik lagi. Bukan karena profesor yang mengatakan bahwa dia tidak akan pernah berarti apa-apa saat dia berdiri di depan kelas dan membagikan sepotong hatinya dalam bentuk sebuah puisi. Bukan karena teman-teman yang meninggalkannya saat paling membutuhkannya karena mereka terlalu sibuk untuk melihat bahwa dia tidak ingin mengabaikan telepon mereka tapi depresi tidak akan membiarkannya menjawab. Bukan, bukan karena mereka tapi karena hidup. Dia patah karena hari demi hari dia memberikannya semua sampai akhirnya dia bosan kalah, bosan dikalahkan. Dia berhasil mengalahkan begitu banyak sehingga akhirnya dia tahu bahwa itu lebih mudah untuk tinggal di sana. Dia patah karena dia selalu berpikir bahwa hidup adalah temannya dan jika dia memperlakukannya dengan benar, itu akan menyembuhkannya kembali tapi dia tidak p...